Kamis, 11 September 2008

Perspektif Puasa Tentang Kerukunan Beragama


Oleh: Ziaulhaq

Tradisi perbandingan agama (comparative religion) sebagai studi pendekatan dalam memahami agama nampaknya tidak dapat berbuat banyak lagi dalam upaya menjadikan agama-agama untuk bersahabat dalam satu ikatan toleransi yang saling menghormati di antara pemeluk agama yang berbeda sebab perbandingan agama dalam setiap kesempatannya selalu berakhir dengan terjadikan agama itu sebagai ajang pertandingan yang saling melukai hati antara pemeluk agama yang berbeda dengan saling menonjolkan kelebihan agama masing-masing dan berupaya merendahkan agama lainnya, yang pasti semakin mempertebal perbedaan yang ada.
Sampai di sini nampaknya bahwa perbandingan agama-agama dapat dikatakan tanpa bermaksud menyebut “gagal” karena tidak pernah memberi kenyamanan antara agama, bahkan di satu sisi telah menyumbangkan benih kebencian di antara setiap pemeluk agama yang berbeda menjadikannya sebagai “lawan” yang harus dimusnahkan. Untuk itulah tradisi perbandingan agama ini harus kita kembangkan menjadi tradisi yang melihat titik temu kesamaan agama. Artinya, agama orang lain harus dilihat dalam persepktif kesamaan dengan agama yang kita anut—walaupun dalam prakteknya harus tetap menjaga keaslian tradisi keagamaan kita—karena dengan ini diharapkan akan muncul sikap saling menghormati di antara pemeluk agama.
Di antara bentuk nyata dari melihat tradisi agama orang lain merupakan bagian dari tradisi kita, yaitu tradisi menjalankan ibadah puasa, yang dapat dipasti telah dipraktekkan hampir semua agama, baik itu agama yang termasuk kategori reveled religions (agama samawi), ataupun natural religions (agama budaya) semua sama-sama mengakui ibadah puasa tersebut. Untuk itulah dalam tulisan ini akan melihat bagaimana sebenarnya pelaksanaan ibadah puasa ini sangat berpotensi sebagai penggalang kerukunan antar umat beragama sebab pelaksanaan ritus puasa dilakukan hampir semua agama dan inilah yang diharapkan mampu menjalin keharmonisan antar umat beragama.

Puasa dan Titik Temu Agama
Puasa sebagai ritus keagamaan diyakini sebagai upaya pembentukan diri, itu tidak dapat terbantahkan sebab dalam pelaksanaan ibadah puasa kita bukan hanya dituntut untuk menampilkan kesalehan ketuhanan, melainkan juga harus terujud dalam bentuk kesalehan kemanusiaan. Jadi, harus terbangun harmonisasi kesalehan yang seimbang, inilah yang sebenarnya bentuk nyata dari kesalehan esensial karena kesalehan tidak lagi hanya berhenti pada kawasan tertentu yang dapat menjadikannya pincang, tetapi diaktualkan dengan bentuk kepatuhan kepada perintah Tuhan dan sebagai bukti penunaian tugas kemanusiaan sekaligus.
Upaya penggalian kesalehan esensial ini diyakini hampir semua agama dengan pelaksanaan yang beragam maka melihat pelaksanaan puasa dalam perspektif agama-agama setidaknya dalam dua kategori. Pertama, di kalangan agama samawi ada yang melaksanakan puasa itu dengan menahan diri dari melakukan aktivitas hingga menahan diri berbicara sebagaimana yang dijalankan agama Yahudi dan Nasrani (Q.S. 19: 26). Agama samawi ini menyakini bahwa pelaksanaan puasa sebagai upaya pembentukan karakter kedirian supaya tidak kehilangan keseimbangan, yang sekaligus upaya penanam nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya dalam kehidupan.
Kedua, di kalangan agama budaya ada yang melaksanakan puasa itu pada siang hari, atau malam hari saja, bahkan ada yang puasa siang dan malam harinya dengan tujuan tertentu, seperti yang dipraktekkan agama Hindu, Budda, Konfusius, dan lainnya baik untuk tujuan keagamaan ataupun kemanusiaan seperti kesehatan, mengurangi berat badan, kecantikan. Itu semua menunjukkan bahwa puasa bukan hanya milik satu agama tertentu, melainkan semua agama memilikinya dan melakukannnya, bahkan secara tegas teks keagamaan kita sendiri membenarkannya (Q.S. 2: 183) bahwa tradisi puasa yang kita laksanakan merupakan kelanjutan dari tradisi keagamaan yang ada sebelumnya maka tentu memiliki kesamaan.
Kenyataan bahwa tradisi puasa milik semua agama merupakan suatu keniscayaan maka sangat efektiflah apabila dikaitkan dengan perspektif kerukunan umat beragama sebab akan muncul asumsi siapa saja yang merendahkan pelaksanaan puasa sama artinya kita telah merendahkan tradisi agama kita sendiri. Oleh sebab itu, setidaknya dengan pendekatan pelaksanaan puasa ini semua agama—khususnya yang menyakini dan melaksanakannya—akan melihat itu merupakan bagian dari agamanya sendiri, dan saat itulah inter relasi keagamaan akan terbangun secara seimbang karena hakikatnya puasa itu akan melahirkan persaudaraan kemanusiaan di atas segalanya.
Melihat puasa sebagai titik awal pertemuan agama-agama setidaknya akan mengantarkan semua pemeluk agama untuk menghormati agama lainnya sebab akan muncul sikap dalam diri bahwa sebenarnya agama orang lain bukanlah musuh yang harus dilenyapkan melainkan mata rantai yang sama setidaknya dalam konteks upaya pembersihan jiwa dari segala bentuk keserakahan material karena esensi puasa itu melatih manusia untuk menundukkan segala bentuk dorongan hawa nafsu yang akan menyebabkan manusia terlepas kendali kemanusiaannya, yang diyakini semua agama tanpa terkecuali bahwa keinginan kebendaan selalu menjadikan manusia mendurhakai perintah agamanya.
Menjadikan puasa sebagai titik temu agama-agama sebenarnya bukanlah tidak mungkin karena esensi puasa sendiri melatih kemanusiaan kita untuk melihat manusia lainnya sebagai diri pribadi kita sendiri. Ini sangat jelas kita lihat dan rasakan bagaimana dalam pelaksanaannya kita dituntut untuk tidak menyentuh makanan, minum atau melakukan kehendak sahwati, yang merupakan puncak dari pengendalian diri dengan ikut serta merasakan bagaimana tidak enaknya lapar dan dahaga, yang dirasakan oleh orang-orang yang lemah secara material, tetapi kita sering gagal mengaktualkan nilai-nilai ini dalam kehidupan, bahkan sama sekali tidak menyentuh kemanusiaan kita untuk ikut sama merasakannya.
Oleh karena itu, puasa sebagai titik temu agama hanya akan dapat terujud apabila semua pemeluk agama itu dapat menangkap makna terdalam dari pelaksanaan puasa tersebut. Apabila itu belum berhasil tetap saja puasa yang kita laksanakan tidak akan mampu berbuat apa-apa dalam kehidupan kita, baik itu memperbaki cara berinteraksi sesama kita, terlebih untuk di luar agama. Makanya, keberhasilan menginterpretasikan puasa inilah faktor yang paling fundamen dalam mengisi kehidupan kita, yang kemudian akan dikembangkan secara lebih luas dalam hubungan antar agama tersebut.
Dalam konteks ini, kalaulah sendainya semua agama dapat menjadikan titik temu agama ini sebagai landasan teologisnya saat berinteraksi dengan agama lainnya pada saat itulah agama benar-benar akan menjadi rahmat bagi pemeluknya dan orang-orang yang berada di luarnya, tetapi untuk sampai ketingkat ini hampir sangat mustahil sebab selalu saja ada kepentingan yang menumpangan dalam setiap kecenderungan yang membentuk masing-masing, dan saya percaya kalau ketegangan antara agama sebenarnya tidak murni dimuati kepentingan keagamaan sebab agama merupakan jalan kedamaian tidak pernah memberi restu sedikitpun untuk mengobarkan api permusuhan di antara setiap agama.
Pada dasarnya, saya percaya kalaulah semua pemeluk agama benar-benar mampu memahami agamanya secara baik dan berupaya menghindarkan segala bentuk sentimen yang sebenarnya tidak bersumber dari ajaran agama maka melihat agama lain dari perspektif titik temu agama khususnya dalam pelaksanan puasa akan membuahkan hasil yang sangat baik, yaitu bukan hanya akan menghargai sesama pemeluk agama, tetapi juga akan akan memunculkan sikap yang ramah saat berhadapan dengan agama lainnya karena sesungguhnya puasa mampu memberikan titik temu agama-agama sebab semua agama menjalankannya menurut ajaran agamanya masing-masing.
Dengan demikian, puasa sejatinya akan membangun kehidupan bermoral yang akan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan itu sendiri sebab perintahkan pelaksanaanya dihadirkan untuk kepentingan manusia yang beragama dan saat yang bersamaan pula apabila agama sudah dapat saling bertemu dapat dipastikan semua agama bersama-sama melawan segala bentuk propaganda anti agama karena itu memang musuh semua agama. Inilah sesungguhnya yang saya maksudkan perspektif puasa tentang kerukunan umat beragama karena puasa mampu melihat agama dalam titik temu yang sama tanpa harus mengorbankan kepentingan agama itu sendiri sebab agama sendiri menginginkan manusia itu untuk saling menghargai sesama pemeluk agama yang berbeda.[]

Penulis adalah Direktur Ekskutif “Progressif” Study Circle (ePCis).

Tidak ada komentar: