Minggu, 14 September 2008

Memaknai Kepemurahan Allah dalam Syari’at Puasa

Oleh: Achyar Zein

Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 185 terdapat ungkapan yuridullahu bikumul yusra wala yuridu bikumul ‘usr (Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu). Ungkapan ini mengisyaratkan kepada manusia tentang sifat kepemurahan yang dimiliki Allah. karena ayat ini masih satu paket dengan ayat-ayat puasa maka kepemurahan Allah dimaksud berkaitan dengan persoalan puasa.
Pernyataan yang mengundang decak kagum dan sangat melegakan ini seharusnya disahuti oleh manusia dengan sikap tunduk dan patuh karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kasih sayang Allah yang mendalam kepada manusia. Sifat inilah yang seharusnya disyukuri oleh manusia karena Allah tidak pernah berlaku semena-mena meskipun kekuasaan yang dimiliki-Nya mutlak tanpa batas.
Hal yang paling menarik lagi dari ayat ini adalah pengulangan dispensasi kepada orang-orang yang sedang sakit atau musafir padahal ungkapan yang sama sudah disebutkan sebelumnya. Pernyataan ini adalah untuk meyakinkan manusia bahwa kewajiban puasa adalah untuk kepentingan manusia sendiri dan bukan berdasarkan kekuasaan-Nya.
Ketika ayat ini ditutup dengan kalimat la’allakum tasykurun tersirat sebuah permintaan agar manusia berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan oleh Allah. Permintaan ini sangat wajar untuk dipenuhi mengingat limpahan karunia dan kepemurahan Allah kepada manusia bagaikan lautan yang tidak bertepi dan bahkan pada awal penciptaan manusia pembelaan-pembelaan Allah sudah nampak kelihatan.
Q.S. al-Baqarah ayat 185 ini sudah membicarakan tentang batasan waktu pelaksanaan ibadah puasa. Batasan waktu ini adalah hasil ‘penggiringan’ dari ayat-ayat sebelumnya dimana ayat 183 hanya mewajibkan namun belum menunjukkan waktu, sedangkan ayat 184 masih sebatas informasi karena puasa yang dilakukan hanya beberapa hari saja.
Sekalipun penyebutan bulan Ramadhan dalam ayat ini tidak menunjuk langsung tentang waktu kewajiban berpuasa namun dapat dipahami bahwa kalimat syahru Ramadhan unzila fihi al-Qur’an adalah sebagai penjelasan dari kalimat ayyam ma’dudat. Pemahaman tentang penetapan waktu ini dapat dianalisis melalui kalimat sesudahnya yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan.
Penetapan bulan Ramadhan untuk menurunkan al-Qur’an dapat dasumsikan bahwa bulan ini memiliki keistimewaan bila dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Oleh karena itu kewajiban ibadah puasa sangat sesuai bila dilakukan pada bulan ini karena ada persamaan antara al-Qur’an dengan puasa dari segi kesucian yaitu al-Qur’an adalah kitab suci sedangkan puasa adalah upaya untuk mensucikan diri.
Penunjukan ini pada prinsipnya mengisyaratkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang suci karena ada dua hal yang suci dilakukan pada bulan ini yaitu turunnya al-Qur’an dan kewajiban melaksanakan ibadah puasa. Pesan yang dapat ditangkap bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang paling efektif untuk melakukan akses terhadap kesucian Allah.
Kalimat berikutnya memberikan penjelasan tentang fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelas dan pembeda (hudan linnas wabayyinati minalhuda walfurqan). Penyebutan fungsi al-Qur’an ini dapat dipahami bahwa puasa yang baik adalah puasa yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu, ibadah puasa yang disebutkan dalam al-Qur’an akan beda dengan puasa-puasa yang di luar ketentuan al-Qur’an.
Kewajiban melaksanakan ibadah puasa selama sebulan dapat dilihat melalui perintah faman syahida minkum al-syahr falyashumhu (barang siapa di antara kamu yang menyaksikan anak bulan maka wajib berpuasa). Penyebutan kata al-syahr (bulan sabit) menunjukkan bahwa puasa dimulai dari awal bulan Ramadhan dan berakhir setelah berakhirnya bulan ini.
Penggunaan kata syahida (menyaksikan) dalam redaksi ini menarik untuk dianalisis karena berbeda dengan kata ra’a (melihat). Kata syahida menunjukkan pengetahuan bahwa untuk mengetahui munculnya bulan sabit dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu hisab tanpa mengenyampingkan peran ru’yah (melihat dengan mata kepala). Kedua hal ini tidak seharusnya dipertentangkan sehingga menimbulkan dualisme mazhab akan tetapi dijadikan sebagai alat bantu untuk mengetahui kondisi bulan sabit.
Selanjutnya Allah mengulangi kembali pernyataan-Nya tentang orang-orang yang sakit dan musafir sebagai bukti tentang kepemurahan-Nya karena pada prinsipnya Allah menginginkan kemudahan dan sama sekali tidak ingin mempersulit. Padahal berdasarkan kekuasaan yang dimiliki-Nya Dia mampu melakukan perintah apa saja sekalipun manusia mengalami kesulitan.
Tenggangrasa Allah ini perlu sekali untuk dicontoh karena tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama dan oleh karena itu setiap ada aturan maka harus ada pengecualian-pengecualian. Selain adanya pengecualian maka aturan juga harus mengacu kepada konsep kemashlahatan dan karenanya aturan yang diberlakukan harus menggali nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat.
Aturan-aturan yang diterapkan oleh Allah selalu dilandasi dengan nilai-nilai kasih sayang dan sama sekali tidak ada tujuan untuk menjaring/menjebak. Bahkan pada satu sisi aturan yang diberlakukan oleh Allah seperti pelaksanaan ibadah puasa dan juga ibadah-ibadah yang lain adalah untuk kepentingan manusia sendiri.
Setelah Allah mengungkapkan sifat kepemurahan-Nya dalam pelaksanaan ibadah puasa, maka perintah berikutnya adalah menyempurnakan jumlah puasa selama sebulan penuh (walitukmilul ‘iddah). Strategi ini sangat tepat karena Allah lebih dulu mengungkapkan tujuan-tujuan perintah-Nya sehingga manusia memiliki tanggung jawab moral melaksanakannya.
Perintah untuk menyempurnakan jumlah puasa selama sebulan menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah kumulatif yang nilainya akan diperhitungkan jika dikerjakan selama sebulan. Oleh karena itu bagi yang puasanya kurang maka diwajibkan untuk mengganti. Selama jumlah ini belum mencukupi maka selama itu pula puasanya tidak akan dinilai.
Dampak yang paling berkesan pasca pelaksanaan puasa adalah kemudahan mengakses kebesaran Allah sehingga muncul perintah untuk melakukan takbir (walitukabbirullaha ‘ala ma hadakum). Perintah ini merupakan jaminan dari pelaksanaan puasa, dan sekiranya pengaksesan ini tidak dapat dilakukan maka perintah takbir adalah suatu yang sia-sia.
Takbir yang dilakukan harus sesuai petunjuk yang sudah digariskan oleh Allah yaitu dengan merendahkan diri dan suara bukan dengan sifat yang arogan dan hura-hura. Pelaksanaan takbir yang di luar dari petunjuk yang sudah digariskan adalah suatu yang sia-sia karena cara yang seperti ini tidak dapat melakukan pengaksesan terhadap kebesaran Allah.
Ayat ini ditutup dengan kalimat la’allakum tasykurun yaitu berterima kasih kepada Allah karena mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Sekiranya ibadah puasa ini tidak diwajibkan, maka sulit membongkar nilai-nilai toleran dan kasih sayang Allah, karena manusia tidak akan pernah berusaha untuk mencari sifat-sifat-Nya.
Memahami Allah sebagai Zat Yang Maha Pemurah merupakan langkah menuju pelaksanaan puasa dengan hati yang ikhlas sehingga perintah untuk menyempurnakan jumlah puasa selama sebulan tidak lagi merupakan beban yang menakutkan. Puasa yang dilakukan dengan ikhlas akan memudahkan pelakunya mengakses kebesaran Allah sehingga tidak sulit mendapatkan prediket hamba yang bersyukur (‘abdan syakura).

Konsultan"Progressif" Study Circle (ePSic)

Tidak ada komentar: