Kamis, 18 September 2008

Penetrasi dan Perkembangan Islam di Kualuh Abad XVIII-XIX

Studi perkembangan Islam di daerah Kualuh tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam di Labuhan Batu, bahkan lebih luas lagi sejarah Islam di Indonesia sebab posisi Kualuh sebagai bagian dari daerah Labuhan Batu. Penetrasi Islam di Labuhan Batu sendiri menurut catatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah ada sebelum 1900 M melalui jalurnya Pagar Ruyung, Mandailing, Tapanuli Selatan (Majelis Ulama Indonesia, 1983 ; 235-250.) Akan tetapi, fakta lain menunjukkan bahwa sekitar tahun 1800 telah berdiri sebuah kesultanan di daerah Kulauh, yang dipimpin oleh beberapa raja dan Islam nampaknya sudah dikenal saat itu.

Untuk menyebut di antara bukti nyata bahwa Islam telah ada di daerah kerajaan Kualuh sebelum tahun 1900, yaitu nama-nama raja Kualuh yang cenderung ‘Arab oriented’, seperti Sri Paduka Tuanku Al-Haji ‘Abdullah Ni’matullah Shah bin Muhammad Ishak (1868-1882); Sri Paduka Tuanku Al-Haji Muhammad Shah (1882-1946), dan lainnya. Artinya, bahwa nama-nama itu telah menunjukkan bahwa mereka itu telah memeluk agama Islam jauh sebelum tahun yang disebutkan MUI tersebut. Selain itu, Islam di Kualuh juga nampaknya telah membangun kerja sama dengan daerah Islam lainnya, khususnya telah terjalin kontak dan transformasi keislaman dalam bentuk tradisi sufistik yang berkembangan di daerah Kualuh (Said, 1998 ; 23).

Transformasi ‘Islam sufistik’ ini setidaknya menjadi simbol peradaban Islam Kualuh, yang sampai saat ini masih ditemukan beberapa tempat pesulukan yang menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di daerah Kuluah. Lembaga ‘Islam sufistik’ ini setidaknya menjadi asumsi kuat bahwa tradisi keislaman yang berkembang di daerah Kualuh ialah ‘Islam sufistik’ itu, yang dapat ditandai dari sikap masyarakatnya sampai hari ini memberikan perhatian yang khusus terhadap kehidupan sufistik, bahkan dalam tataran tertentu tradisi ‘Islam sufistik’ ini memang sengaja dikekalkan masyarakatnya dengan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Sejauh pengamatan kami belum ditemukan ada suatu karya atau penelitian ilmiah yang menelusi akar dan perkembangan Islam di Kulauh, bahkan dapat dikatakan studi tentang Islam di Kualuh seakan terabaikan, khususnya sumber-sumber lokal. Kenyataan ini nampaknya sangat berkaitan dengan tradisi intelektual yang berkembang di kalangan masyarakat Kualuh yang tidak, atau kurang memberikan perhatian terhadap perkembangan Islam di daerah tersebut untuk mengabadikannya dalam bentuk tulisan, atau sangat mungkin juga kondisi kehidupan saat itulah yang belum memaksa mereka ‘orang-orang Kualuh’ untuk menuliskannya.

Nampaknya, di sinilah pentingnya penelusuran sejarah dan perkembangan Islam di Kualuh dilakukan setidaknya untuk menyelematkan sejarah Kualuh itu sendiri dari ketertinggalan, atau lebih tepat lagi dari kepunahan dengan cara melakukan penelitian tentang akar sejarah Islam di Kualuh.

Minggu, 14 September 2008

Memaknai Kepemurahan Allah dalam Syari’at Puasa

Oleh: Achyar Zein

Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 185 terdapat ungkapan yuridullahu bikumul yusra wala yuridu bikumul ‘usr (Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu). Ungkapan ini mengisyaratkan kepada manusia tentang sifat kepemurahan yang dimiliki Allah. karena ayat ini masih satu paket dengan ayat-ayat puasa maka kepemurahan Allah dimaksud berkaitan dengan persoalan puasa.
Pernyataan yang mengundang decak kagum dan sangat melegakan ini seharusnya disahuti oleh manusia dengan sikap tunduk dan patuh karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kasih sayang Allah yang mendalam kepada manusia. Sifat inilah yang seharusnya disyukuri oleh manusia karena Allah tidak pernah berlaku semena-mena meskipun kekuasaan yang dimiliki-Nya mutlak tanpa batas.
Hal yang paling menarik lagi dari ayat ini adalah pengulangan dispensasi kepada orang-orang yang sedang sakit atau musafir padahal ungkapan yang sama sudah disebutkan sebelumnya. Pernyataan ini adalah untuk meyakinkan manusia bahwa kewajiban puasa adalah untuk kepentingan manusia sendiri dan bukan berdasarkan kekuasaan-Nya.
Ketika ayat ini ditutup dengan kalimat la’allakum tasykurun tersirat sebuah permintaan agar manusia berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan oleh Allah. Permintaan ini sangat wajar untuk dipenuhi mengingat limpahan karunia dan kepemurahan Allah kepada manusia bagaikan lautan yang tidak bertepi dan bahkan pada awal penciptaan manusia pembelaan-pembelaan Allah sudah nampak kelihatan.
Q.S. al-Baqarah ayat 185 ini sudah membicarakan tentang batasan waktu pelaksanaan ibadah puasa. Batasan waktu ini adalah hasil ‘penggiringan’ dari ayat-ayat sebelumnya dimana ayat 183 hanya mewajibkan namun belum menunjukkan waktu, sedangkan ayat 184 masih sebatas informasi karena puasa yang dilakukan hanya beberapa hari saja.
Sekalipun penyebutan bulan Ramadhan dalam ayat ini tidak menunjuk langsung tentang waktu kewajiban berpuasa namun dapat dipahami bahwa kalimat syahru Ramadhan unzila fihi al-Qur’an adalah sebagai penjelasan dari kalimat ayyam ma’dudat. Pemahaman tentang penetapan waktu ini dapat dianalisis melalui kalimat sesudahnya yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan.
Penetapan bulan Ramadhan untuk menurunkan al-Qur’an dapat dasumsikan bahwa bulan ini memiliki keistimewaan bila dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Oleh karena itu kewajiban ibadah puasa sangat sesuai bila dilakukan pada bulan ini karena ada persamaan antara al-Qur’an dengan puasa dari segi kesucian yaitu al-Qur’an adalah kitab suci sedangkan puasa adalah upaya untuk mensucikan diri.
Penunjukan ini pada prinsipnya mengisyaratkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang suci karena ada dua hal yang suci dilakukan pada bulan ini yaitu turunnya al-Qur’an dan kewajiban melaksanakan ibadah puasa. Pesan yang dapat ditangkap bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang paling efektif untuk melakukan akses terhadap kesucian Allah.
Kalimat berikutnya memberikan penjelasan tentang fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelas dan pembeda (hudan linnas wabayyinati minalhuda walfurqan). Penyebutan fungsi al-Qur’an ini dapat dipahami bahwa puasa yang baik adalah puasa yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu, ibadah puasa yang disebutkan dalam al-Qur’an akan beda dengan puasa-puasa yang di luar ketentuan al-Qur’an.
Kewajiban melaksanakan ibadah puasa selama sebulan dapat dilihat melalui perintah faman syahida minkum al-syahr falyashumhu (barang siapa di antara kamu yang menyaksikan anak bulan maka wajib berpuasa). Penyebutan kata al-syahr (bulan sabit) menunjukkan bahwa puasa dimulai dari awal bulan Ramadhan dan berakhir setelah berakhirnya bulan ini.
Penggunaan kata syahida (menyaksikan) dalam redaksi ini menarik untuk dianalisis karena berbeda dengan kata ra’a (melihat). Kata syahida menunjukkan pengetahuan bahwa untuk mengetahui munculnya bulan sabit dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu hisab tanpa mengenyampingkan peran ru’yah (melihat dengan mata kepala). Kedua hal ini tidak seharusnya dipertentangkan sehingga menimbulkan dualisme mazhab akan tetapi dijadikan sebagai alat bantu untuk mengetahui kondisi bulan sabit.
Selanjutnya Allah mengulangi kembali pernyataan-Nya tentang orang-orang yang sakit dan musafir sebagai bukti tentang kepemurahan-Nya karena pada prinsipnya Allah menginginkan kemudahan dan sama sekali tidak ingin mempersulit. Padahal berdasarkan kekuasaan yang dimiliki-Nya Dia mampu melakukan perintah apa saja sekalipun manusia mengalami kesulitan.
Tenggangrasa Allah ini perlu sekali untuk dicontoh karena tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama dan oleh karena itu setiap ada aturan maka harus ada pengecualian-pengecualian. Selain adanya pengecualian maka aturan juga harus mengacu kepada konsep kemashlahatan dan karenanya aturan yang diberlakukan harus menggali nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat.
Aturan-aturan yang diterapkan oleh Allah selalu dilandasi dengan nilai-nilai kasih sayang dan sama sekali tidak ada tujuan untuk menjaring/menjebak. Bahkan pada satu sisi aturan yang diberlakukan oleh Allah seperti pelaksanaan ibadah puasa dan juga ibadah-ibadah yang lain adalah untuk kepentingan manusia sendiri.
Setelah Allah mengungkapkan sifat kepemurahan-Nya dalam pelaksanaan ibadah puasa, maka perintah berikutnya adalah menyempurnakan jumlah puasa selama sebulan penuh (walitukmilul ‘iddah). Strategi ini sangat tepat karena Allah lebih dulu mengungkapkan tujuan-tujuan perintah-Nya sehingga manusia memiliki tanggung jawab moral melaksanakannya.
Perintah untuk menyempurnakan jumlah puasa selama sebulan menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah kumulatif yang nilainya akan diperhitungkan jika dikerjakan selama sebulan. Oleh karena itu bagi yang puasanya kurang maka diwajibkan untuk mengganti. Selama jumlah ini belum mencukupi maka selama itu pula puasanya tidak akan dinilai.
Dampak yang paling berkesan pasca pelaksanaan puasa adalah kemudahan mengakses kebesaran Allah sehingga muncul perintah untuk melakukan takbir (walitukabbirullaha ‘ala ma hadakum). Perintah ini merupakan jaminan dari pelaksanaan puasa, dan sekiranya pengaksesan ini tidak dapat dilakukan maka perintah takbir adalah suatu yang sia-sia.
Takbir yang dilakukan harus sesuai petunjuk yang sudah digariskan oleh Allah yaitu dengan merendahkan diri dan suara bukan dengan sifat yang arogan dan hura-hura. Pelaksanaan takbir yang di luar dari petunjuk yang sudah digariskan adalah suatu yang sia-sia karena cara yang seperti ini tidak dapat melakukan pengaksesan terhadap kebesaran Allah.
Ayat ini ditutup dengan kalimat la’allakum tasykurun yaitu berterima kasih kepada Allah karena mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Sekiranya ibadah puasa ini tidak diwajibkan, maka sulit membongkar nilai-nilai toleran dan kasih sayang Allah, karena manusia tidak akan pernah berusaha untuk mencari sifat-sifat-Nya.
Memahami Allah sebagai Zat Yang Maha Pemurah merupakan langkah menuju pelaksanaan puasa dengan hati yang ikhlas sehingga perintah untuk menyempurnakan jumlah puasa selama sebulan tidak lagi merupakan beban yang menakutkan. Puasa yang dilakukan dengan ikhlas akan memudahkan pelakunya mengakses kebesaran Allah sehingga tidak sulit mendapatkan prediket hamba yang bersyukur (‘abdan syakura).

Konsultan"Progressif" Study Circle (ePSic)

Kamis, 11 September 2008

Perspektif Puasa Tentang Kerukunan Beragama


Oleh: Ziaulhaq

Tradisi perbandingan agama (comparative religion) sebagai studi pendekatan dalam memahami agama nampaknya tidak dapat berbuat banyak lagi dalam upaya menjadikan agama-agama untuk bersahabat dalam satu ikatan toleransi yang saling menghormati di antara pemeluk agama yang berbeda sebab perbandingan agama dalam setiap kesempatannya selalu berakhir dengan terjadikan agama itu sebagai ajang pertandingan yang saling melukai hati antara pemeluk agama yang berbeda dengan saling menonjolkan kelebihan agama masing-masing dan berupaya merendahkan agama lainnya, yang pasti semakin mempertebal perbedaan yang ada.
Sampai di sini nampaknya bahwa perbandingan agama-agama dapat dikatakan tanpa bermaksud menyebut “gagal” karena tidak pernah memberi kenyamanan antara agama, bahkan di satu sisi telah menyumbangkan benih kebencian di antara setiap pemeluk agama yang berbeda menjadikannya sebagai “lawan” yang harus dimusnahkan. Untuk itulah tradisi perbandingan agama ini harus kita kembangkan menjadi tradisi yang melihat titik temu kesamaan agama. Artinya, agama orang lain harus dilihat dalam persepktif kesamaan dengan agama yang kita anut—walaupun dalam prakteknya harus tetap menjaga keaslian tradisi keagamaan kita—karena dengan ini diharapkan akan muncul sikap saling menghormati di antara pemeluk agama.
Di antara bentuk nyata dari melihat tradisi agama orang lain merupakan bagian dari tradisi kita, yaitu tradisi menjalankan ibadah puasa, yang dapat dipasti telah dipraktekkan hampir semua agama, baik itu agama yang termasuk kategori reveled religions (agama samawi), ataupun natural religions (agama budaya) semua sama-sama mengakui ibadah puasa tersebut. Untuk itulah dalam tulisan ini akan melihat bagaimana sebenarnya pelaksanaan ibadah puasa ini sangat berpotensi sebagai penggalang kerukunan antar umat beragama sebab pelaksanaan ritus puasa dilakukan hampir semua agama dan inilah yang diharapkan mampu menjalin keharmonisan antar umat beragama.

Puasa dan Titik Temu Agama
Puasa sebagai ritus keagamaan diyakini sebagai upaya pembentukan diri, itu tidak dapat terbantahkan sebab dalam pelaksanaan ibadah puasa kita bukan hanya dituntut untuk menampilkan kesalehan ketuhanan, melainkan juga harus terujud dalam bentuk kesalehan kemanusiaan. Jadi, harus terbangun harmonisasi kesalehan yang seimbang, inilah yang sebenarnya bentuk nyata dari kesalehan esensial karena kesalehan tidak lagi hanya berhenti pada kawasan tertentu yang dapat menjadikannya pincang, tetapi diaktualkan dengan bentuk kepatuhan kepada perintah Tuhan dan sebagai bukti penunaian tugas kemanusiaan sekaligus.
Upaya penggalian kesalehan esensial ini diyakini hampir semua agama dengan pelaksanaan yang beragam maka melihat pelaksanaan puasa dalam perspektif agama-agama setidaknya dalam dua kategori. Pertama, di kalangan agama samawi ada yang melaksanakan puasa itu dengan menahan diri dari melakukan aktivitas hingga menahan diri berbicara sebagaimana yang dijalankan agama Yahudi dan Nasrani (Q.S. 19: 26). Agama samawi ini menyakini bahwa pelaksanaan puasa sebagai upaya pembentukan karakter kedirian supaya tidak kehilangan keseimbangan, yang sekaligus upaya penanam nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya dalam kehidupan.
Kedua, di kalangan agama budaya ada yang melaksanakan puasa itu pada siang hari, atau malam hari saja, bahkan ada yang puasa siang dan malam harinya dengan tujuan tertentu, seperti yang dipraktekkan agama Hindu, Budda, Konfusius, dan lainnya baik untuk tujuan keagamaan ataupun kemanusiaan seperti kesehatan, mengurangi berat badan, kecantikan. Itu semua menunjukkan bahwa puasa bukan hanya milik satu agama tertentu, melainkan semua agama memilikinya dan melakukannnya, bahkan secara tegas teks keagamaan kita sendiri membenarkannya (Q.S. 2: 183) bahwa tradisi puasa yang kita laksanakan merupakan kelanjutan dari tradisi keagamaan yang ada sebelumnya maka tentu memiliki kesamaan.
Kenyataan bahwa tradisi puasa milik semua agama merupakan suatu keniscayaan maka sangat efektiflah apabila dikaitkan dengan perspektif kerukunan umat beragama sebab akan muncul asumsi siapa saja yang merendahkan pelaksanaan puasa sama artinya kita telah merendahkan tradisi agama kita sendiri. Oleh sebab itu, setidaknya dengan pendekatan pelaksanaan puasa ini semua agama—khususnya yang menyakini dan melaksanakannya—akan melihat itu merupakan bagian dari agamanya sendiri, dan saat itulah inter relasi keagamaan akan terbangun secara seimbang karena hakikatnya puasa itu akan melahirkan persaudaraan kemanusiaan di atas segalanya.
Melihat puasa sebagai titik awal pertemuan agama-agama setidaknya akan mengantarkan semua pemeluk agama untuk menghormati agama lainnya sebab akan muncul sikap dalam diri bahwa sebenarnya agama orang lain bukanlah musuh yang harus dilenyapkan melainkan mata rantai yang sama setidaknya dalam konteks upaya pembersihan jiwa dari segala bentuk keserakahan material karena esensi puasa itu melatih manusia untuk menundukkan segala bentuk dorongan hawa nafsu yang akan menyebabkan manusia terlepas kendali kemanusiaannya, yang diyakini semua agama tanpa terkecuali bahwa keinginan kebendaan selalu menjadikan manusia mendurhakai perintah agamanya.
Menjadikan puasa sebagai titik temu agama-agama sebenarnya bukanlah tidak mungkin karena esensi puasa sendiri melatih kemanusiaan kita untuk melihat manusia lainnya sebagai diri pribadi kita sendiri. Ini sangat jelas kita lihat dan rasakan bagaimana dalam pelaksanaannya kita dituntut untuk tidak menyentuh makanan, minum atau melakukan kehendak sahwati, yang merupakan puncak dari pengendalian diri dengan ikut serta merasakan bagaimana tidak enaknya lapar dan dahaga, yang dirasakan oleh orang-orang yang lemah secara material, tetapi kita sering gagal mengaktualkan nilai-nilai ini dalam kehidupan, bahkan sama sekali tidak menyentuh kemanusiaan kita untuk ikut sama merasakannya.
Oleh karena itu, puasa sebagai titik temu agama hanya akan dapat terujud apabila semua pemeluk agama itu dapat menangkap makna terdalam dari pelaksanaan puasa tersebut. Apabila itu belum berhasil tetap saja puasa yang kita laksanakan tidak akan mampu berbuat apa-apa dalam kehidupan kita, baik itu memperbaki cara berinteraksi sesama kita, terlebih untuk di luar agama. Makanya, keberhasilan menginterpretasikan puasa inilah faktor yang paling fundamen dalam mengisi kehidupan kita, yang kemudian akan dikembangkan secara lebih luas dalam hubungan antar agama tersebut.
Dalam konteks ini, kalaulah sendainya semua agama dapat menjadikan titik temu agama ini sebagai landasan teologisnya saat berinteraksi dengan agama lainnya pada saat itulah agama benar-benar akan menjadi rahmat bagi pemeluknya dan orang-orang yang berada di luarnya, tetapi untuk sampai ketingkat ini hampir sangat mustahil sebab selalu saja ada kepentingan yang menumpangan dalam setiap kecenderungan yang membentuk masing-masing, dan saya percaya kalau ketegangan antara agama sebenarnya tidak murni dimuati kepentingan keagamaan sebab agama merupakan jalan kedamaian tidak pernah memberi restu sedikitpun untuk mengobarkan api permusuhan di antara setiap agama.
Pada dasarnya, saya percaya kalaulah semua pemeluk agama benar-benar mampu memahami agamanya secara baik dan berupaya menghindarkan segala bentuk sentimen yang sebenarnya tidak bersumber dari ajaran agama maka melihat agama lain dari perspektif titik temu agama khususnya dalam pelaksanan puasa akan membuahkan hasil yang sangat baik, yaitu bukan hanya akan menghargai sesama pemeluk agama, tetapi juga akan akan memunculkan sikap yang ramah saat berhadapan dengan agama lainnya karena sesungguhnya puasa mampu memberikan titik temu agama-agama sebab semua agama menjalankannya menurut ajaran agamanya masing-masing.
Dengan demikian, puasa sejatinya akan membangun kehidupan bermoral yang akan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan itu sendiri sebab perintahkan pelaksanaanya dihadirkan untuk kepentingan manusia yang beragama dan saat yang bersamaan pula apabila agama sudah dapat saling bertemu dapat dipastikan semua agama bersama-sama melawan segala bentuk propaganda anti agama karena itu memang musuh semua agama. Inilah sesungguhnya yang saya maksudkan perspektif puasa tentang kerukunan umat beragama karena puasa mampu melihat agama dalam titik temu yang sama tanpa harus mengorbankan kepentingan agama itu sendiri sebab agama sendiri menginginkan manusia itu untuk saling menghargai sesama pemeluk agama yang berbeda.[]

Penulis adalah Direktur Ekskutif “Progressif” Study Circle (ePCis).

Minggu, 31 Agustus 2008

Menanti Perubahan di Labuhan Batu

Labuhan Batu merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sumatra Utara terkenal dengan sumber daya alamnya Kelapa Sawit dan Karet, dan memiliki tiga sungai besar, yaitu Sungai Bilah, Sungai Kualuh dan Sungai Barumun merupakan aset daerah yang subur, sehingga tidak mengherankan lebih dari 58 % wilayahnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan didominasi oleh subsektor perkebunan. Perkebunan sendiri menyita lahan 424.180 hektar atau 46 % luas wilayah sebagaimana Kelapa Sawit pada tahun 2000 telah mencapai 4,3 juta ton dari lahan seluas 292.649 hektar, dan perkebunan Karet mencapai 109,3 ribu ton dari lahan seluas 118.779 hektar. Sedangkan peran industri sebagai pengolahan hasil pertanian yang mencapai sekitar 39 industri besar dan sedang, dan ditambah 77 % berupa minyak sawit mentah dan inti sawit yang menggunakan bahan baku kelapa sawit. Dengan demikian, kondisi alam tersebut secara sederhana dapat dikatakan sangat mendukung untuk perekonomian yang baik bagi Labuhan Batu dari segala sektornya apabila dilakukan pengelolaan dengan baik dan terampil, dan serta menempatkan tangan-tangan ahli yang berkompeten dibidangnya untuk mencapai kesejahteraan bersama dan tidak ditumpangi oleh unsur kepentingan tertentu.

Peluang Kemajuan Otonomi
Beranjak dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 pasal 13 (1) tentang pemekaran daerah yang dapat dilakukan berdasarkan kriteria kemampuan ekonomi, memiliki potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk memadai dan luas daerahnya memungkinkan untuk pengembangan daerah, sehingga apabila kriteria ini tidak dipenuhi akan membawa konsekuensi pada tidak terciptanya upaya pemekaran yang menjanjikan perbaikan pada derah dari segala sektornya. Melihat kemampauan ekonomi dan potensi daerah yang dimiliki Labuhan Batu sangat memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, karena dari aspek perekonomian dan potensi daerah sangat berkopetensi dibanding dari daerah lainnya yang ada di Sumatera Utara sebagaimana hasil alam yang menjanjikan dari aspek perkebunan dan daratnya untuk memenuhi segala kebutuhan yang ada, dan hampir dapat dipastikan apabila dilakukan pengelolaan yang baik impian “ekonomi kerakyatan” sebagaimana yang digagas pakar ekonomi UGM, Mubyarto, dengan melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat akan terwujud.
Sedangkan dari sisi sosial budaya Labuhan Batu sebenarnya memiliki kecenderungan keaneka-ragaman budaya sebagaimana yang disebut sosiolog Amerika, Jary, dengan istilah “multiculturalism” yang diikat dalam semboyan “ika bina enpabolo”, sehingga pada masyarakat Labuhan Batu keanekagaman budaya tidak hanya dilihat dari segi kemajemukan, akan tetapi lebih menekankan keaneka-ragaman dari sudut persamaan untuk membangun kemajuan bersama. Sebagaimana dibuktikan bahwa suku dan ras yang berbeda bukanlah suatu penghalang terjalinnya kerjasama dalam upaya koneksinitas antara sesama secara individual hingga sosial kemasyarakatan, bahkan dalam suatu lembaga kemasyarakat tidak jarang ditemui adanya beragam suku dan agama dalam upaya memajukan Labuhan Batu kedepan yang lebih baik dari sebelumnya.Pada aspek sosial politik Labuhan Batu menganut sistem demokrasi yang esensinya jauh lebih maju selangkah dari pada konsep demokrasi yang ditawarkan Barat sendiri, karena dalam persfektif Barat demokrasi lebih ditekankan pada mayoritas, sedangkan demokrasi yang dibanguan Labuhan Batu menekankan aspek profesionalisme bukan populeritas semata, sehingga kepemimpinan diangkat berdasarkan aspek kemampuan dan kebenaran yang dimilikinya. Hal ini dibuktikan bahwa sistem pemilihan pemimpin tidak hanya didominasi dari satu suku ras tertentu, akan tetapi semua kalangan berhak untuk menduduki posisi tersebut tanpa melihat suku dan agama sebagai indikasi bahwa keaneka-ragaman politik lebih ditekankan pada aspek penghargaan dari pada penunjukan sentimen rasisme.
Demikian juga jumlah penduduk yang lebih mencapai 840.382 jiwa dengan luas daerah + 9.223.18 Km2 merupakan suatu kelompok komunitas dan lahan yang cukup luas bagi pengembangan profesi dan keahlian beragam dikalangan masyarakat, sehingga apabila pengelolaan dan pemanfaat yang ada dapat dilakukan secara baik akan menekan angka pengangguran bukan hanya pada daerah Labuhan Batu, akan tetapi juga sebagai syafaat bagi daerah lainnya. Selain itu, ditambah lagi banyaknya menyebaran putra daerah keseluruh propinsi yang ada Indonesia hingga luar negeri baik yang berstatus sekolah atau menjabat pada lembaga pemerintah atau swasta merupakan ‘para perantau yang terdidik’ dan tidak diragukan lagi memiliki kemampuan dan wawasan serta pengalaman yang cukup tinggi khususnya dalam upaya memajukan daerah Labuhan Batu. Dengan demikian harapan untuk menciptakan Labuhan Batu sebagai daerah yang mandiri dan sejahtera akan benar-benar tercapai.

Tantangan dalam Pengembangan
Sebagaimana lazimnya setiap segala sesuatu cita yang besar memerlukan kesiapan diri dan mental, karena sangat mustahil keberhasilan dapat diraih tanpa pengorbanan. Demikian juga sebaliknya gagasan pemekaran Labuhan Batu bukan tanpa tantangan dan hambatan dalam proses persiapan diri baik dalam bentuk sarana dan prasarana yang menunjang mempermudah terwujudnya impian otonomi daerah yang mampu terhadap pengembangan dirinya sendiri. Persiapan untuk kematangan pemekaran membutuhkan waktu yang tidak sedikit idealnya minimal satu atau dua tahun, karena pemisahan daerah yang telah bersatu dan menyatu memiliki keterkaitan secara langsung antara keduanya atau lebih, sehingga persiapan yang ekstra sangat menentukan perbaikan nasib dua atau tiga daerah yang akan dimekarkan dalam upaya memenuhi segala kebutuhan internal dan eksternalnya.
Selain itu, kesiapan mental juga sangat menentukan kebangunan daerah yang telah memiliki hak otonom sendiri, karena kondisi daerah yang selama ini berpusat dan bergantung pada ibu kota sebagai pusat dan referensi segala sesuatunya terpaksa harus mencari dan memecahkan segala problema yang mungkin timbul dengan sendirinya, sehingga diperlukan adanya managemen yang benar-benar unggul dan siap untuk menghadapi segala problema yang akan muncul. Sedangkan kondisi masyarakatnya sendiri sebenarnya kurang potensial dan produktif dalam upaya mengikuti perkembangan disegala bidang. Hal ini dibuktikan bahwa ada semacam tradisi profesi kesinambungan antara seorang anak dengan orang tuanya, sehingga tidak mengherankan anak seorang petani atau nelayan akan menjadikan anaknya sebagai pelanjut profesi dibidang pertanian dan nelayan juga yang terkadang kondisi perekonomiannya lebih jauh dibawah orang tuanya.
Kondisi ini sangat terkait dengan rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, karena pendidikan yang tidak memadai akan menjadikan masyarakat sebagai konsumen oriented dalam segala bidangnya, sehingga pada akhirnya potensi alam yang ada tidak akan mampu dimanfaatkan dengan maksimalnya, bahkan akan didominasi oleh kalangan yang hanya mandangnya dari aspek keuntungan semata. Sikap ini juga merupakan salah satu bentuk pendurhakaan terhadap Tuhan, karena tidak mampu memanfaatkan fasilitas yang ada. Selanjutnya, ditambah minimnya sarana komunikasi yang merupakan ciri khas masyarakat metropolitan menjadikan masyarakat dan daerah tidak siap untuk bersaing dalam menghadapi era globalisasi yang merupakan sebagai tantangan, karena globalisasi akan lebih menawarkan “gombalisasi” apabila tidak memiliki kesiapan dan kemampuan ilmu pengetahuan dalam menyikapinya yang juga sekaligus sebagai penghambat laju perkembangan. Dengan demikian tantangan yang ada idealnya dijadikan sebagai start awal dalam perumusan cita besar pembangunan, bukan dijadikan sebagai titik kelemahan.
Dengan demikian, gagasan pemekaran Labuhan Batu selayaknya mendapat sorotan serius dari semua kalangan terutama para perantau terdidik, karena momentum tersebut merupakan titik tolak awal kebangunan Labuhan Batu dari keadaan sebelumnya yang secara tidak langsung meminta intervensi tangan-tangan ahli terdidik untuk memformulasikan segala sesuatu baik dari sisi kesiapan masyarakat hingga managemen pembangunan daerah. Dengan demikian tantangan dalam upaya pemekaran tersebut merupakan agenda kerja dari segala pihak yang terlibat dalamnya.[]

Labuhan Batu

Kabupaten Labuhan Batu adalah salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Rantau Prapat. Kabupaten Labuhan Batu terkenal dengan hasil perkebunan kelapa sawit dan karet.

Wilayah kabupaten yang dilalui tiga sungai besar yaitu Sungai Bilah, Sungai Kualuh dan Sungai Barumun merupakan daerah yang subur. Hal ini dapat dilihat dari 58 persen wilayahnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, dimana di dalamnya didominasi subsektor perkebunan.

Perkebunan sendiri menyita lahan 424.180 hektar atau 46% luas wilayah Kabupaten Labuhan Batu. Hasil utama dari perkebunan adalah kelapa sawit dan karet. Kelapa sawit, misalnya pada tahun 2000 dapat memproduksi 4,3 juta ton dari lahan seluas 292.649 hektar. Dari lahan seluas 118.779 hektar kebun karet, pada tahun 2000 dapat diproduksi 109,3 ribu ton karet. Sebagian besar industri di kabupaten ini merupakan industri pengolahan hasil pertanian, khususnya perkebunan. Produk yang dihasilkan dari sekitar 39 industri besar dan sedang, 77 persen berupa minyak sawit mentah dan inti sawit yang menggunakan bahan baku kelapa sawit. (sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Labuhan_Batu)